Tipu diri cipta ilusi
Inilah mesin logika murni
Satu kosong yang hakiki
Sungguhlah sebuah falasi
Selongsong organik, budak kimiawi
Oksitosin sang raja sejati
Kerlingan mata, penawan hati
Canduku lagi dan lagi
Tipu diri cipta ilusi
Inilah mesin logika murni
Satu kosong yang hakiki
Sungguhlah sebuah falasi
Selongsong organik, budak kimiawi
Oksitosin sang raja sejati
Kerlingan mata, penawan hati
Canduku lagi dan lagi
sang raja murka
jari memberi titah
dari singgasana porselen
cermin hitam digenggam
pengelana lintas waktu datang
menuju kini yang berselimut bayang
menghadap medan perang
tanpa henti menerjang
meski remuk tulang
pengelana lintas waktu pulang
ke masa lampau yang konon cemerlang
saat dunia diliputi terang
dan sang pejuang
masih gemilang
dan tolong
biarkan aku tetap
terpeluk cahaya
terendam kehangatan
perjanjian dari
akal dan iman
serta kegentaran
jangan sampai
malam terpanjang
datang menyelimuti
Gemilang kelap lampu kota
Mengecil seiring deru mobil yang
Melaju
Menjauh
Gelimang kelip lampu kota
Memudar seiring fajar yang
Menjelang
Memangsa
Pandang berganti
Roda berputar
Jempol yang terus
Menekan pedal akselerasi
Aku ingin pergi
Kemanapun tapi bukan kesana
Aku ingin tinggal
Dimanapun tapi bukan disana
Lihatlah awan-awan itu!!!
Mungkin ada UFO dibaliknya
Akan ditarik diriku
Lenyap dari planet ini selamanya
[Dan aku akan menyambutnya dengan riang]
“Oh UFO ayo culik aku!!
Bawalah aku bersamamu
Teleportasi ke semesta lain —
Tentunya pasti asyik!”
[Tentu saja seruan itu hanya menampar angin.]
Pandang diam.
Roda berhenti
Jempol yang akhirnya
Menekan pedal deserasi
[Kuucapkan.
Mantra.
Yang.
Membelengguku.
Disini.
Selamanya.]
“Ini Samudra, putra Angkasa,
Taatilah suaraku, buka jalan untukku”
Namun Senja kemudian menjelma
Semburatnya jingga menghangatkan
Membisikkan janji akan malam
Tempat ku bisa terlelap
Dan mungkin pada akhirnya,
Hari yang berbeda akan tiba….
Aku, yang mengenalmu
Lebih dari siapapun
Panggil aku apapun:
Tuhan, setan, hati nuranimu!
Ketika sang surya mengecup selamat tinggal
Awan-awan berarak menghalangi bulan bintang penggantinya
Hiruk pikuk manusia berhenti menggumam
Kau disini, sendiri
Dalam imaji batin
Kemudian aku berbisik dalam benakmu
Bahwa aku ada bersamamu
Cengkeramanku menggenggam hatimu
Nafasku berhembus pada tengkukmu
Lalu kutunjukkan engkau
Intipati dari segenap hasrat jiwamu
Dan ketika sang surya kembali ke singgasananya
Awan-awan kabur terpencar ditiup angin
Hingar bingar kehidupan kini berlanjut
Kau disana, dalam lautan manusia
Bersama namun sendiri
Kemudian aku berbisik dalam benakmu
Bahwa aku masih bersamamu
Senyuman tipis menggaris wajahmu
Garis menjelma menjadi seringai
Aku terkekeh dan kau pun mengekeh
Kilau merah darah di sudut bola matamu
Panggil aku apapun:
Mercusuarmu, kegelapan hatimu!
Bayangmu, diri sejatimu
(dan aku akan selalu ada
kekal di kedalaman hampanya jiwamu)
Katanya semua dimulai dari diri sendiri
Makanya aku mencoba jadi optimis
Kuulurkan tanganku padamu, sahabatku
“Marilah kita mencari mentari”, ujarku
Katanya kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu
Tapi tentunya aku tak tega meninggalkanmu
Saat aku juga ikut berperan dalam kenegatifan ini
Jadi marilah, cari mentari bersama!
Meskipun merasa stagnan, kuyakin aku tumbuh perlahan
Betapa senang hatiku, ketika kulihat kau bertumbuh juga
Sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit
Mungkin kita bisa maju dan tahu apa yang kita inginkan
buku mengajarkanku untuk bereaksi
emosi yang kukeluarkan bukanlah milik sendiri
karena aku ini mesin fotokopi yang dahsyat
mampu dengan lihai mengimitasi
apa yang dirasakan para pemeran dalam cerita-cerita itu
seharusnya aku merasakan apa?
aku membaca dan menonton
melihat mengamat dan meniru
karena cerita aku dapat menjadi manusia
jika ada A, maka aku harus memerankan reaksi B
jika ada C, maka aku harus merasakan D
tapi apa sebenarnya yang dipikir oleh hati?
mungkin hatinya tidak ada
saat orang berkata
terima kasih atas empatiku
sesungguhnya
aku
hanyalah
mesin
fotokopi
yang
dahsyat
Ketika mantel tebal ditanggalkan
Hamparan putih terganti jadi kepala pitak sang kakek beruban
Putih diseling cokelat basah becek
Kecipak kecipak kecipuk
Kecipuk kecipuk kecipak
Suatu waktu aku pernah berujar
Bahwa aku hanya butuh mentari
Namun ketika salju dilelehkan
Inti beku ini masih saja kekal
Dan haru di hati masih terjelma
Konon musim semi membawa harapan
Pembebasan dari musim dingin yang berkepanjangan
Menyambut kehidupan yang dilanjutkan
Namun jika bunga-bunga itu tak kunjung mekar
Akan kemanakah kita akan berharap?
Mungkin aku harus menunggu lebih lama